6 Pesepak Bola Legendaris Klub Persija Jakarta

Persija Jakarta

lavozdelpitic.com – Persija Jakarta jadi klub tersukses dalam sejarah sepak bola Indonesia. Fakta tersebut tersaji dalam torehan 10 gelar juara kompetisi elite PSSI, baik di masa Perserikatan sampai saat ini Liga Indonesia.

Sejak berdiri pada 28 November 1928, klub yang awal mulanya bernama VIJ (Voetbalbond Indonesische Jacatra) jadi bertemunya pemain-pemain berbakat dari penjuru Jakarta dan Indonesia.

Di masa VIJ bond yang jadi salah satu penggagas berdirinya PSSI itu sempat diperkuat oleh Soemo dan Abidin. Kedua nama itu jadi pemain yang masyhur pada eranya. Lanjut di masa 1950-an, Persija Jakarta banyak diisi pemain dengan metode besar buah hasil bergabungnya klub-klub anggota VBO ke Persija Jakarta.

Lain lagi dengan masa 1960-an, dimana Klub Persija Jakarta memetik gelar juara dengan tenaga-tenaga anak muda. Kala itu, kompetisi internal Persija dapat dibilang jadi kompetisi pemula terbaik dengan banyak menciptakan pemain-pemain legendaris. Soetjipto Soentoro salah satunya.

Masa emas, alias 1970-an, nama Persija seolah telah jadi jaminan kualitas. Bukan cuma sebab sebagai salah satu klub elite yang merajai kompetisi elite Perserikatan Tanah Air, namun juga sebagai pemasok pemain Timnas Indonesia paling banyak pada masa itu.

Sebagai klub besar yang lahir di Bunda Kota, Persija telah tentu jadi barometer pemain-pemain sepak bola yang terdapat di Indonesia. Di umurnya yang telah mencapai 87 tahun, pasti saja Persija memiliki pemain legendaris semenjak tempo dahulu sampai saat ini.

Daftar Pesepak Bola Legendaris Persija Jakarta

Persija Jakarta

1. Tan Liong Houw

Tan Liong Houw yang berdarah Tionghoa dengan nama pribumi, Latief Harris Tanoto, adalah pemain istimewa dalam ekspedisi panjang Persija Jakarta. Tan Liong Houw yang besar di Jakarta adalah salah satu legenda klub yang dicintai pendukung Klub Persija Jakarta pada masanya.

Tan Liong Houw muda meningkatkan bakat sepak bolanya lewat klub Chung Hua ataupun yang saat ini diketahui dengan nama PS Tunas Jaya. Bakat sepak bolanya lahir dari bapaknya yang juga pembesar klub Chung Hua, adalah Tan Chin Hoat.

Akan namun, berbeda dengan bapaknya yang piawai sebagai pemain bek kiri, pesepak bola kelahiran lahir di Surabaya, 26 Juli 1930 tersebut, memilih buat jadi seorang gelandang. Kemampuannya sebagai pengontrol pertandingan tidak harus diragukan lagi, sebab dalam umur yang lumayan muda, Tan Liong Houw mampu jadi pemimpin klub Persija dan juga Indonesia.

Yang unik, Tan Liong Houw memiliki karakteristik khas yang mudah dikenali. Perihal itu nyatanya menyusut dari si bapak. Jika Chin Hoat gemar mengalungkan handuk di pundaknya saat bermain, hingga Tan Liong Houw juga senantiasa mengikat handuk di tangan kirinya. Dengan begitu, pemirsa juga mengidentifikasi Tan Liong Houw di lapangan dari penampilannya.

Cerita percintaan Tan Liong Houw dengan Persija Jakarta bermula saat Chung Hua memutuskan keluar dari perkumpulan Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO) dan memilih masuk ke Persija pada tahun 1951.

Bersama dengan UMS dan juga BBSA, Chung Hua jadi pelopor klub anggota VBO yang menyeberang ke Persija Jakarta. Perihal itu tentu bukan keputusan yang gampang, mengingat VBO dan VIJ (nama saat sebelum Persija) sering beradu gengsi dalam urusan kompetisi di Tanah Betawi.

Tetapi, masuknya Chung Hua, UMS dan BBSA jadi keuntungan tertentu untuk Persija Jakarta. Pasokan pemain bermutu dari kompetisi VBO jadi senjata utama Persija di kompetisi PSSI sehabis masa dini kemerdekaan Republik Indonesia.

Tan Liong Houw muda juga dan merta masuk ke dalam klub Persija lewat klub Chung Hua. Bersama Wim Pie, Tan Liong Houw jadi wakil klub etnis Tionghoa yang bermarkas di Halaman Sari itu di Persija Jakarta.

Bermodal style permainannya yang berani, sanggup menjelajahi ke tiap zona dan bernafas seperti kuda, Tan Liong Houw juga didapuk jadi pemimpin Persija di lapangan. Kedatangan Tan Liong Houw sebagai kapten jadi simbol kemenangan Chung Hua atas rival abadinya, UMS, yang juga banyak memasok pemain buat Persija Jakarta.

Dari style bermainnya itu, pendukung Persija Jakarta masa itu juga jatuh cinta dengan Tan Liong Houw. Pendukung Persija juga memberikan julukan Macan Betawi ataupun Macan Jakarta. Julukan yang sangat istimewa, sebab secara etnis Tan Liong Houw tidaklah orang Betawi.

Tan Liong Houw menyumbangkan gelar juara Perserikatan buat Persija pada tahun 1954. Saat itu Persija bersua PSMS Medan. Dalam final

yang terkategori keras itu, Tan Liong Houw bermain apik dengan jadi pengatur game Persija Jakarta.

Selepas lesakan berhasil dari Van der Berg dan Kwee Hong Sing, Klub Ayam Kinantan walk out menolak melanjutkan pertandingan sebab merasa laga berjalan sangat keras dan wasit tidak tegas.

Terlepas dari polemik yang mencuat pada partai puncak, Tan Liong Houw sukses bawa Persija berpesta di Stadion Ikada sehabis pada tahun-tahun lebih dahulu kandas mencapai gelar juara.

Kiprah Tan Liong Houw di Timnas Indonesia juga tidak kalah mentereng. Bersama Klub Garuda, Tan Liong Houw sempat merasakan menahan klub kokoh dunia, Uni Soviet, 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956.

Apalagi, dirinya mempersembahkan gelar juara buat Indonesia dalam pergelaran Merdeka Permainan tahun 1961 di Malaysia.

Yang menarik, Tan Liong Houw jadi pemain sangat senior di Klub Merah-Putih. Dia didaulat sebagai kapten klub yang saat itu banyak diisi pemain dari Persib Bandung, semacam: Wowo, Rukma, ataupun Fattah Hidayat.

Sayangnya, Tan Liong Houw kandas berprestasi di penghujung karirnya bersama timnas. Dia tidak berhasil memperoleh medali di ajang terakhirnya bersama Indonesia pada Asian Permainan 1962.

Persija Jakarta

2. Sinyo Aliandoe

Nama Sinyo Aliandoe lebih diketahui publik sepak bola nasional sebagai pelatih berhasil yang nyaris meloloskan Timnas Indonesia ke Piala Dunia Meksiko 1986. Saat masih jadi pemain, laki-laki kelahiran Larantuka, Flores Timur, 1 Juli 1940 tersebut amat masyhur di Persija Jakarta.

Mengawali bermain di tingkat senior bersama PS Maesa, yang juga klub anggota Persija Jakarta, Sinyo muda yang amat berbakat langsung bersinar di pentas kompetisi internal Jakarta.

Sinyo menarik hati pelatih kepala Persija yang saat itu dijabat oleh drg. Endang Witarsa. Tidak hanya Sinyo, terdapat pemain muda yang lain Soetjipto Soentoro yang tampak menawan di kompetisi internal Macan Kemayoran.

Endang Witarsa, yang akrab dipanggil dengan istilah Pak Dokter, memandang terdapat perihal istimewa dari diri Sinyo, yang berposisi sebagai gelandang tengah. Tidak cuma memiliki skill bagus, Sinyo memiliki etos pekerja keras di lapangan. Style ini amat disukai si mentor.

Sinyo yang saat direkrut Persija statusnya telah pindah ke klub Indonesia Muda, jadi salah satu pemain andalan Macan Kemayoran di kancah Perserikatan.

Sinyo jadi andalan di formasi 4-2-4 ramuan Pak Dokter. Permainannya licin bagai belut plus fisiknya amat prima. Ditopang oleh pemain bermutu yang lain semacam Tahir Yusuf dan Soetjipto Soentoro, jadilah Persija klub ofensif yang menakutkan kubu lawan.

Hasilnya, di umur 24 tahun, Sinyo telah merasakan manisnya gelar juara Perserikatan. Gelar yang istimewa untuk Persija Jakarta, sebab mereka juara tanpa terkalahkan dengan modul pemain-pemain muda berkat tangan emas Endang Witarsa.

Sayangnya karier sebagai pemain Sinyo tidak berlangsung lama. Di umur yang masih terkategori muda, Sinyo harus pensiun dini dari lapangan sepak bola. Luka parah patah kaki membuat Sinyo menghentikan aktivitasnya sebagai pemain pada tahun 1969.

Namun, nyatanya Tuhan memiliki rencana lain untuk Sinyo. Lumayan berhasil sebagai pemain di Persija, laki-laki yang lahir di Flores pada 1 Juli 1940 itu mulai mendalami ilmu kepelatihan di Manchester, Inggris.

Kepergian Sinyo belajar ilmu pelatih di Inggris tidak lepas dari campur tangan owner klub Jayakarta dan manajer klub Persija, F. H. Hutasoit. Kariernya sebagai pelatih di Persija Jakarta diawali pada 1973.

Pada masa perdananya Sinyo bawa Persija juara kompetisi Perserikatan. Gelar keenam selama sejarah klub.

Berbekal modul pemain yang mumpuni, ditambah kepribadian Sinyo yang penuh perhitungan, menjadikan penggawa Macan Kemayoran menjelma jadi klub yang amat superior. Gelar juara Perserikatan mengakhiri dahaga panjang prestasi sepanjang 10 tahun tanpa gelar.

Hebatnya, 2 tahun berselang Sinyo kembali mengantar Persija jadi klub terbaik di Tanah Air. Walaupun terdapat catatan. Gelar juara di tahun itu bukan cuma kepunyaan Persija, namun juga PSMS Medan.

Jakarta dan Medan jadi juara bersama sehabis keduanya menolak meneruskan pertandingan sebab kecewa dengan kepemimpinan wasit asal Malang, Mahdi Thalib. Gara-gara pengadil yang tidak tegas, keributan besar antara pemain pernah rusak di tengah lapangan Stadion Utama Senayan (nama lama Stadion utama Gelora Bung Karno).

Torehan 2 gelar di Persija Jakarta membuat karir Sinyo makin menanjak. Dia menemukan tantangan menukangi Timnas Indonesia. Kepribadian tegas dan disiplin ala Sinyo membuat mental penggawa Klub Garuda berganti ekstrem. Kepiawaiannya dalam meracik taktik dan strategi sangat mempengaruhi kepada hasil akhir pertandingan.

Di dasar kendali Sinyo, Indonesia hampir melangkah ke putaran final Piala Dunia 1986. Di fase terakhir penyisihan zona Asia Klub Garuda, kalah dari Korea Selatan dengan skor 2-0 di Seoul dan 4-1 di Jakarta.

Sinyo pernah kembali ke klub yang membesarkannya Persija pada masa 1999. Sayang, kali ini dia kurang beruntung. Dirinya lengser sehabis serangkaian hasil kurang baik Macan Kemayoran di pentas Liga Indonesia. Dia juga ditukar oleh pelatih asal Bulgaria, Ivanko Kolev.

Menjelang akhir hayatnya, Sinyo masih bersentuhan dengan sepak bola dan Persija Jakarta. Dia dengan tekun melatih PS Setia, yang adalah klub Internal Persija Jakarta. Si legenda tutup umur pada Rabu 18 November 2015.

Persija Jakarta

3. Soetjipto Soentoro

Nama Soetjipto Soentoro senantiasa dikenang di dunia sepak bola Indonesia. Dia salah satu striker top pada masanya. Laki-laki yang lahir di Bandung, Jawa Barat, 16 Juni 1941 ini besar di wilayah Gandaria, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Perkenalan Gareng (sapaan Soetjipto) dengan sepak bola terjalin saat dia memainkan sang kulit bulat di pinggir jalanan Gandaria. Bakatnya alamnya tidak terencana ditemui oleh klub internal Persija Jakarta, PS Setia (yang memanglah bermarkas di wilayah Gandaria), saat mereka bertanding melawan klub IPPI Kebayoran di Lapangan Blok A Kebayoran, Jakarta Selatan.

Di umur muda, Gareng telah diketahui banyak orang. Paling utama publik Stadion Persija di Menteng, yang giat menyaksikan aksi-aksi Gareng saat bermain bersama PS Setia.

Wuwungan, pelatih Persija di tahun 1956 memandang bakat besar Gareng langsung menariknya ke klub senior. Pasti saja, perihal itu lumayan mengejutkan, terlebih sebagian rekan seangkatan Gareng harus melewati pilih di klub Persija U-18 saat sebelum melangkah ke klub utama.

Di klub senior Persija kala itu, Gareng pernah bermain dengan kakaknya, adalah Soegito yang juga berasal dari klub PS Setia.

Gareng bisa jadi masih sangat muda, 16 tahun, saat berkostum Persija, tetapi di umurnya itu dia langsung dipercaya sebagai pemain yang lumayan vita di Macan Kemayoran. Dia bermain bersama pemain-pemain senior Persija yang sebagian jadi anggota klub juara tahun 1954 semacam R. Parengkuan, Wim Pie, Chris Ong, Giok Po dan juga Tan Liong Houw.

Bersamaan prestasi Persija Jakarta yang mulai surut di masa 1950-an akhir, pengurus inti Persija mulai berfikir buat melakukan regenerasi. Lambat-laun mereka memasukan pemain muda dari U-18 Persija, semacam Kwee Tek Liong ataupun Nunung.

Sehabis Wuwungan lengser dari jabatan pelatih, Klub Persija Jakarta mulai membangun klub muda di dasar kendali drg. Endang Witarsa (Liem Soen Joe). Di tangan Pak Dokter, Persija kembali menjelma jadi klub yang ditakuti lawan.

Dokter yang maniak dengan pola 4-2-4 menjadikan Gareng sebagai penyerang bayangan yang bertugas menggedor pertahanan lawan dari lini kedua. Dirinya jadi andalan dalam urusan menjebol gawang musuh.

Bersama Tahir Yusuf dan Sinyo Aliandoe, Gareng juga kerap dirotasi bermain di zona gelandang. Kala melanda, Gareng umumnya bekerjasama dengan Didik Kasmara dan Dominggus.

Hasilnya, di kompetisi Perserikatan tahun 1964, Persija sukses keluar sebagai juara tanpa satu juga mengidap kekalahan. Gelar klub asal bunda kota itu terasa sangat lengkap sebab Gareng jadi pencetak berhasil paling banyak. Dia menggelontorkan 16 berhasil sepanjang kompetisi berlangsung.

Prestasi Gareng di Timnas Indonesia juga tidak kalah mentereng. Jika di Persija Jakarta dia cuma merasakan satu gelar, di timnas Gareng merasakan sebagian kali juara.

Pada tahun 1966 bersama timnas dia berhasil menjuarai Piala Aga Khan di India. Sebab tampak bagus di Aga Khan, Gareng dinaikan jadi kapten oleh Endang Witarsa, yang naik kelas jadi nakhoda Timnas Indonesia. Soetjipto Soentoro juga jadi pahlawan di Piala Raja Thailand tahun 1968. Dia mencetak berhasil tunggal ke gawang Myanmar.

Gareng pernah pindah ke PSMS Medan pada kompetisi 1968-1969. Dia bersama pemain Persija yang lain, adalah Yudo Hadiyanto dan

Iswadi Idris, menyeberang ke Ayam Kinantan lewat klub Pardedetex. Saat dia dan kedua rekannya hijrah ke PSMS, sebagian media di Jakarta pernah menyebutnya kacang kurang ingat kulit.

Tetapi, tidak bertahan lama dia beserta Yudo dan Iswadi kembali ke Persija pada Perserikatan edisi tahun 1971. Di tahun seperti itu, Gareng memutuskan buat pensiun dari sepak bola. Dia mengakhiri karir sepakbolanya di klub yang membesarkan namanya.

Tetapi sayang, Gareng kandas mempersembahkan gelar juara di tahun terakhirnya bersama Persija Jakarta. Macan Kemayoran harus puas memandang PSMS berpesta di Stadion Utama Senayan.

Persija Jakarta

4. Iswadi Idris

Bakat sepak bola kanak-kanak Jakarta di masa 1960 sampai 1970-an berlimpah ruah. Persija Jakarta tidak sempat kekurangan stok pemain bermutu hasil cetakan klub-klub internalnya.

Gandaria, Kebayoran Baru, menelurkan Soetijpto Soentoro. Wilayah Tanah Abang jadi tempat Djamiat Dalhar mengawali karir di Persija Jakarta. Kemudian, kawasan Petak Sinkian dan Halaman Sari telah tentu diisi oleh kanak-kanak berbakat UMS dan Tunas Jaya.

Kawasan Kramat, Senen, Jakarta Pusat juga tidak ingin kalah dengan melahirkan Iswadi Idris buat Persija Jakarta. Lahir di Banda Aceh, 18 Maret 1948, Iswadi malah berkembang besar di Jakarta, tepatnya di Kramat 5.

MBFA yang masih klub internal Persija, jadi wadah Iswadi belajar mencerna bola. Sehabis memandang Indonesia Muda (IM) latihan di lapangan kosong di wilayah Halaman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Iswadi juga pindah ke klub legendaris. Sebabnya sepele sebab posisi latihan lebih dekat dengan rumahnya.

Iswadi secara formal masuk klub utama Persija pada tahun 1966 sehabis tampak mengkilap bersama IM. Sebab dasarnya berbakat, tidak perlu waktu lama untuk Iswadi buat dapat menembus posisi inti. Boncel (sapaan Iswadi) juga kilat mentas ke Timnas Indonesia.

Di skuat Garuda, banyak gelar yang dia persembahkan. Sebut saja Merdeka Permainan 1969, Piala Anniversary 1972, dan Acara Sukan (1972). Sebaliknya bersama Persija, prestasi Iswadi juga mempesona.

Tahun 1973, Iswadi ikut membawakan Persija jadi juara kompetisi Perserikatan PSSI. Performanya yang apik saat menempuh touring Australia bersama Persija, membuat klub Australia, Western Suburbs tertarik.

Dia juga berpisah sedangkan dengan Persija Jakarta. Sebab begitu bekennya nama Iswadi, suatu laga seremonial perpisahan yang dilangsungkan di Stadion Menteng. Indonesia Muda sebagai klub pemula Iswadi bertanding dengan Persija Jakarta.

Sepulang dari Australian, Iswadi hijrah ke klub elite anggota Persija yang bermain di pentas Galatama, adalah Jayakarta. Tahun 1975, Iswadi mempersembahkan gelar juara kedelapan buat Macan Kemayoran. Sayangnya Iswadi tidak sanggup mempertahankan gelar juara buat Persija di tahun 1977.

Tahun 1978 adalah tahun terakhir Iswadi membela Persija Jakarta. Dalam kompetisi PSSI 1978-1979, nama Iswadi pernah dibawa oleh pelatih Marek Janota. Tetapi perilakunya yang keras dan komunikasi yang kurang baik dengan si pelatih, membuat dirinya dicoret dari Klub Kemayoran. Iswadi secara formal pensiun dari klub yang membesarkannya pada tahun 1980.

Persija Jakarta

5. Bambang Pamungkas

Bambang Pamungkas adalah legenda Persija di masa modern. Penyerang kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 10 Juni 1980 ini sempat membawakan Macan Kemayoran jadi juara Liga Indonesia edisi 2001. Pencapaian yang belum dapat kembali diulang sampai masa Indonesia Luar biasa League saat ini.

Bambang memulai karier junior di klub Persikas Kabupaten Semarang. Dia setelah itu lolos pilih di Diklat Salatiga. Di diklat ini nama Bepe mulai bersinar.

Pada tahun 1999, dia masuk skuat Timnas Indonesia U-19 asuhan Bernard Schumm buat ajang Pra Olimpiade, Atena 2000.

Lepas dari membela Timnas, Bambang Pamungkas langsung didekati Persija Jakarta. Manajer Klub Merah-Putih, IGK Manila, yang ditunjuk sebagai Chief de Mission Persija, melakukan lobi hati ke hati ke penyerang dengan karakteristik khas no punggung 20 itu.

Bepe bergabung ke Persija pada tahun 1999, sehabis lulus dari Diklat Salatiga. Di masa pertamanya, BP merajalela dengan menggelontorkan banyak berhasil buat Persija Jakarta. Total di masa 1999 dan 2000, Cah Getas mengemas 24 berhasil.

Tampak bagus bersama Persija di pertengahan tahun 2000, Bepe berupaya peruntungannya di klub Belanda, EHC Norad. Dia bertualang ke Negara Kincir Angin sepanjang separuh tahun.

Keunggulan Bepe sebagai penyerang adalah dia amat kokoh dalam duel bola-bola hawa. Tidak hanya itu, dia memiliki kedua kaki yang sama bagus buat melakukan shooting. Bambang pemain yang pintar dalam penempatan posisi.

Sehabis berkiprah di EHC Norad, Bepe kembali ke Persija Jakarta. Berguru di tanah Total Football, dia diharapkan dapat bawa Persija jadi juara Liga Indonesia yang kala itu disponsori Bank Mandiri.

Di dasar asuhan Ivanko Kolev, Persija tampak mempesona di babak klubler. Sayang begitu masuk babak 8 besar kanak-kanak Macan Kemayoran melempem.

Belajar dari kegagalan pada masa 2001, Persija juga berbenah. Dengan sokongan dana berlimpah dari Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso (yang berstatus sebagai Pembina Persija), Klub Persija Jakarta membangun The Dream Team di dasar komando pelatih lokal, Sofyan Hadi.

Bambang Pamungkas tampak on-fire di masa 2001. Dia bermain semacam titisan Soetjipto Soentoro, striker legendaris Persija yang amat haus berhasil.

Tidak hanya bawa Persija juara dengan mengalahkan PSM Makassar 3-2 dalam laga puncak yang diselenggarakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Bepe juga jadi Pemain Terbaik kompetisi. Tidak hanya itu dia juga unjuk produktivitas dengan torehan 24 berhasil.

Sayangnya cahaya kebintangan Bambang Pamungkas tidak meluas ke Timnas Indonesia. Jadi pelanggan senantiasa lini depan Klub Merah-Putih sepanjang 12 tahun, dia tidak mempersembahkan prestasi apa-apa.

Walaupun demikian, dia jadi pemain dengan koleksi jam terbang paling banyak di Timnas Indonesia, adalah 85 pertandingan dengan sumbangsih 37 berhasil. Bepe menepi dari timnas seusai tampak di Piala AFF 2012. Dia memilih fokus membela klub yang dicintainya.

Suatu keputusan kontroversial terbuat penyerang kelahiran 10 Juni 1980 pada masa 2014. Dia memutuskan pindah ke Pelita Bandung Raya, sehabis semusim lebih dahulu memilih menganggur. Dia menolak tawaran kontrak manajemen Persija, sebab permasalahan tunggakan pendapatan ke pemain.

Pada masa 2015 kemudian, bomber pengidola klub Italia, Internazionale Milan, kembali ke Persija Jakarta. Sayangnya kompetisi Indonesia Luar biasa League menyudahi tiba-tiba imbas konflik PSSI dengan Kemenpora.

Dia pernah tampak membela Persija di turnamen Piala Presiden 2015. Sehabis itu dia memutuskan menepi dari lapangan hijau, menunggu konflik mereda. The Jakmania, kelompok pendukung Persija, berharap Bambang Pamungkas kembali membela Persija di kompetisi Indonesia Soccer Championship 2016. Si pemain yang juga jadi Wakil Presiden Asosiasi Pesepak Bola Handal Indonesia (APPI) belum berikan keputusan.

Persija Jakarta

6. Ismed Sofyan

Lahir pada 23 Mei 1980 di Jakarta, Ismed Sofyan adalah contoh nyata dari ekspedisi seorang pemain lokal yang mewakili klubnya dengan bangga. Debutnya bersama Persija terjalin pada tahun 1999, dan semenjak itu, ia sudah jadi bagian tidak terpisahkan dari klub. Dengan melewati bermacam masa dan tantangan, Ismed sudah jadi salah satu pemain sangat mempengaruhi dalam sejarah klub.

Sepanjang kariernya, Ismed Sofyan sudah mengumpulkan bermacam trofi dan penghargaan bersama Persija Jakarta. Ia sudah berkontribusi pada bermacam kesuksesan klub, tercantum kemenangan dalam turnamen lokal dan pencapaian di tingkatan Asia. Konsistensinya dalam performa dan dedikasinya terhadap klub sudah menjadikannya idola untuk jutaan pendukung Persija Jakarta.

Tidak hanya kemampuannya di lapangan, Ismed Sofyan juga diketahui sebab kepemimpinannya di luar lapangan. Sebagai salah satu pemain senior, ia sudah jadi teladan untuk rekan-rekannya dalam perihal pengabdian, kerja keras, dan integritas. Kehadirannya di ruang ubah jadi inspirasi untuk pemain muda dan sumber kekuatan untuk klub.

Yang membedakan Ismed Sofyan dari yang lain adalah cintanya yang tidak tergoyahkan pada Persija Jakarta. Walaupun diberi peluang buat bermain di klub lain ataupun di luar negara, ia senantiasa memilih buat setia pada warna oranye Merah Persija Jakarta. Tiap kali mengenakan seragam klub, ia tidak cuma memperjuangkan kemenangan, namun juga memperjuangkan harga diri klub dan kebanggaan pendukungnya.

Baca Juga Berita Seputar Sepak Bola Lainnya di Bawah Ini: